PANTAI NGOBARAN,
Alamat: Desa Kanigoro, Saptosari,
Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Koordinat GPS: S8°7'10.6" E110°30'20.4"
Koordinat GPS: S8°7'10.6" E110°30'20.4"
Pantai Ngobaran ternyata kaya pesona
budaya; mulai dari pura, masjid yang menghadap ke selatan, hingga potensi
kuliner terpendam yaitu landak laut goreng.
- Pantai Ngobaran, "Kute" Gunungkidul
Datang ke Pantai Ngrenehan dan menikmati
ikan bakarnya belum lengkap kalau tak mampir di pantai sebelahnya, Ngobaran.
Letak pantai yang bertebing tinggi ini hanya kurang lebih dua kilometer dari
Pantai Ngrenehan. Tak jauh bukan? Penduduk Pantai Ngrenehan saja sering
membicarakan dan mampir ke Pantai Ngobaran, mengapa anda tidak?
Ngobaran merupakan pantai yang cukup
eksotik. Kalau air surut, anda bisa melihat hamparan alga (rumput
laut) baik yang berwarna hijau maupun coklat. Jika dilihat dari atas, hamparan
alga yang tumbuh di sela-sela karang tampak seperti sawah di wilayah padat
penduduk. Puluhan jenis binatang laut juga terdapat di sela-sela karang, mulai
dari landak laut, bintang laut, hingga golongan kerang-kerangan.
Tapi yang tak terdapat di pantai lain
adalah pesona budayanya, mulai dari bangunan hingga makanan penduduk setempat.
Satu diantaranya yang menarik adalah adanya tempat ibadah untuk empat agama
atau kepercayaan berdiri berdekatan. Apakah itu bentuk multikulturalisme? Siapa
tahu.
Bangunan yang paling jelas terlihat
adalah tempat ibadah semacam pura dengan patung-patung dewa berwarna putih.
Tempat peribadatan itu didirikan tahun 2003 untuk memperingati kehadiran
Brawijaya V, salah satu keturunan raja Majapahit, di Ngobaran. Orang yang
beribadah di tempat ini adalah penganut kepercayaan Kejawan (bukan Kejawen lho).
Nama "Kejawan" menurut cerita berasal dari nama salah satu putra
Brawijaya V, yaitu Bondhan Kejawan. Pembangun tempat peribadatan ini mengaku
sebagai keturunan Brawijaya V dan menunjuk salah satu warga untuk menjaga
tempat ini.
Berjalan ke arah kiri dari tempat
peribadatan tersebut, Anda akan menemui sebuah Joglo yang digunakan untuk
tempat peribadatan pengikut Kejawen. Saat Kita berkunjung ke tempat ini,
beberapa pengikut Kejawen sedang melakukan sembahyangan. Menurut penduduk
setempat, kepercayaan Kejawen berbeda dengan Kejawan. Namun mereka sendiri tak
begitu mampu menjelaskan perbedaannya.
Bila terus menyusuri jalan setapak yang
ada di depan Joglo, anda akan menemukan sebuah kotak batu yang ditumbuhi
tanaman kering. Tanaman tersebut dipagari dengan kayu berwarna abu-abu. Titik
dimana ranting kering ini tumbuh konon merupakan tempat Brawijaya V
berpura-pura membakar diri. Langkah itu ditempuhnya karena Brawijaya V tidak
mau berperang melawan anaknya sendiri, Raden Patah (Raja I Demak).
Kebenaran cerita tentang Brawijaya V ini
kini banyak diragukan oleh banyak sejarahwan. Sebabnya, jika memang Raden Patah
menyerang Brawijaya V maka akan memberi kesan seolah-olah Islam disebarkan
dengan cara kekerasan. Banyak sejarahwan beranggapan bahwa bukti sejarah yang
ada tak cukup kuat untuk menyatakan bahwa Raden Patah melakukan penyerangan.
Selengkapnya bagaimana, mungkin Anda bisa mencari sendiri.
Beberapa meter dari kotak tempat ranting
kering tumbuh terdapat pura untuk tempat peribadatan umat Hindu. Tak jelas
kapan berdirinya pura tersebut.
Di bagian depan tempat ranting tumbuh
terdapat sebuah masjid berukuran kurang lebih 3x4 meter. Bangunan masjid cukup
sederhana karena lantainya pun berupa pasir. Seolah menyatu dengan pantainya.
Uniknya, jika kebanyakan masjid di Indonesia menghadap ke Barat, masjid ini
menghadap ke selatan. Bagian depan tempat imam memimpin sholat terbuka sehingga
langsung dapat melihat lautan. Ketika Kita menanyakan pada penduduk setempat,
tak banyak yang tahu tentang alasannya. Bahkan, penduduk setempat sendiri heran
karena yang membangun pun salah satu Kyai terkenal pengikut Nahdatul Ulama yang
tinggal di Panggang, Gunung Kidul. Sebagai petunjuk bagi yang akan sholat,
penduduk setempat memberi tanda di tembok dengan pensil merah tentang arah
kiblat yang sebenarnya.
Setelah puas terheran-heran dengan situs
peribadatannya, Anda bisa berjalan turun ke pantai. Kalau datang pagi, maka
pengunjung akan menjumpai masyarakat pantai tengah memanen rumput laut untuk
dijual kepada tengkulak. Mereka biasanya menjual rumput laut dengan harga Rp
1.000 hingga Rp 1.500 per kilo. Hasilnya lumayan untuk mencukupi kebutuhan
hidup mereka.
Namun, kalau datang sore, biasanya Anda
akan menjumpai warga tengah mencari landak laut untuk dijadikan makanan malam
harinya. Untuk bisa dimakan, landak laut dikepras dulu durinya hingga rata dan
kemudian dipecah menggunakan sabit. Daging yang ada di bagian dalam landak laut
kemudioan dicongkel. Biasanya warga mencari landak hanya berbekal ember,
saringan kelapa, sabit, dan topi kepala untuk menghindari panas.
Landak laut yang didapat biasanya diberi
bumbu berupa garam dan cabe kemudian digoreng. Menurut penduduk, daging landak
laut cukup kenyal dan lezat. Sayangnya, tak banyak penduduk yang menjual
makanan yang eksotik itu. Tapi kalau mau memesan, coba saja meminta pada salah
satu penduduk untuk memasakkan. Siapa tahu, anda juga bisa berbagi ide tentang
bagaimana memasak landak laut sehingga warga pantai Ngobaran bisa memakai
pengetahuan itu untuk berbisnis meningkatkan taraf kehidupannya.
Lengkap bukan? Dari keindahan pantai,
pesona tempat peribadatan hingga hidangan yang menggoda. Mungkin tak ada di
tempat lain.
0 komentar :
Posting Komentar